Hari ini saya masuk di kelas 1. Ada dua jam pelajaran yang harus saya ampu. Pelajaran visi sakti.
Rencananya, saya akan menyampaikan mengenai peduli lingkungan dan alam sekitar, yang termaktub dalam janji pelajar islam yang dibaca anak-anak setiap hari senin. Saat saya masuk kelas anak-anak, seperti biasa masih riuh seperti pasar ayam… hahahaha…. lalu saya mencoba mencuri fokus anak-anak dengan melakukan permainan ayam-bebek yang sangat disukai anak-anak, mereka pun kemudian dapat fokus pada saya walaupun satu dua orang anak masih sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
Tiba-tiba saja, dari barisan tengah anak anak mulai menutup hidung yang kemudian diikuti oleh seluruh anak di kelas 1. Lalu ada yang mengatakan “uuuuuh…. bau kentut” lalu tanpa dikomando kelas menjadi riuh kembali dengan pembahasan seputar kentut
“baunyaaa….. gak enak”
“siapa nih yang kentuut?”
“iya, siapa sih yang kentut… bau banget”
Dan teriakan-teriakan lain bertema gas berbau menyengat itu.
Saya pun menengahi anak-anak kelas satu yang mulai saling menuduh dan menyalahkan satu sama lain.
“sudah sudah…. bagi anak yang buang gas atau kentut, silakan acungkan tangan!” perintah saya pada anak-anak. Namun semua tangan masih tersimpan rapi di bawah meja masing-masing dan kelas mendadak menjadi sepi. Kemudian saya coba mengubah perintahnya.
“yang merasa buang gas, silakan berdiri” kelas pun masih sepi, semua anak masih duduk di tempatnya masing-masing. Anak-anak masih belum ada yang mengaku telah buang gas di dalam kelas. Lalu saya pun mengeluarkan jurus terakhir saya yang saya sebut lidahmu berbicara
“betul tidak ada yang mau berdiri dan mengaku?” saya tanyakan lagi pada anak-anak
“baiklah, jika di antara anak-anak tidak ada satu pun yang mau mengaku, maka Bu Nia terpaksa menggunakan cara terakhir untuk mengetahui siapa yang sudah buang gas sembarangan” saya pun mengeluarkan ultimatum terakhir.
“Bu Nia sekarang akan memeriksa lidah kalian semua, jika ada anak yang telah berbohong, dia buang gas tapi tidak mau mengaku, tidak mau acung tangan dan berdiri, maka lidahnya akan berbeda dari teman-teman lain yang tidak buang gas di dalam kelas dan akan ketahuan siapa yang sudah buang gas di dalam kelas tadi” saya memberi sedikit penjelasan
“baiklah, sekarang semuanya julurkan lidah kalian sepanjang-panjangnya, maka Bu Nia akan segera tahu siapa yang sudah buang gas di kelas dan tidak mau mengaku” perintah saya kepada mereka
Saya pun kemudian mulai memeriksa lidah anak-anak yang terjulur tanpa menunjukkan ekspresi apapun. Mulai dari belakang ke depan. Sampai di barisan tengah, pemeriksaan saya mulai menunjukkan hasil, ada satu orang anak yang dia malah menutup mulutnya rapat-rapat. Saya membiarkannya dan meneruskan pemeriksaan sampai selesai di barisan depan. Ternyata memang hanya satu anak yang tidak mau menjulurkan lidahnya. Dia adalah Tya (bukan nama sebenarnya), lalu Tya pun saya panggil ke depan, saya minta pelan pelan padanya untuk menjulurkan lidah karena saya ingin memeriksa.
“Ayo Tya, Bu Nia pengen periksa lidahmu, Tya jujur kan? Kalau jujur nggak usah takut” saya memintanya dengan sedikit berbisik agar tidak didengar teman-temannya yang lain.
Tak disangka Tya malah menangis sesenggukan di depan saya. Baiklah, saya sepertinya sudah tahu siapa pelakunya dan saya minta Tya duduk kembali di bangkunya.
Akhirnya, separuh dari jam pelajaran saya di kelas satu hari ini saya isi dengan cerita mengenai kejujuran yang menentramkan hati. Baiklah mungkin target saya hari ini terkait peduli lingkungan dan alam sekitar tidak tercapai secara maksimal, namun anak-anak belajar mengenai sesuatu yang lain yang konteksnya saat itu sedang cocok dengan situasi yang sedang terjadi.
Love you all, kids…
–bagaisangsuryamenyinari BuNia-